Senin, 29 Agustus 2016

Demokrasi terpimpin Kelas X11


DEMOKRASI TERPIMPIN

Pengertian Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin adalah reaksi terhadap demokrasi liberal/parlementer karena pada masa Demokrasi Parlementer kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan oleh partai.

Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden ini sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin mengkhawatirkan. Berlakunya dekrit presoden ini memiliki sisi positif dan sisi negatis.

Berikut sisi positif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

  1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik yang berkepanjangan,
  2. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 dari kelangsungan hidup negara.
  3. Merintis pembentukan lembaga tinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Adapun sisi negatif berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut.
  1. Memberi kekuasaan besar kepada presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara.
  2. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik.
Disebut demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia pada saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan presiden sangat besar dan mutlak, sedangkan aktivitas partai dibatasi.  Karena kekuasaan presiden yang mutlak tersebut mengakibatkan penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan ditangan presiden).

Berikut merupakan pelaksanaan atau hal-hal yang dilaksanakan pada saat demokrasi terpimpin.

1. Pembentukan MPRS

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 presiden membentuk MPRS. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga parrtai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Ketua MPRS adalah Chairul Saleh, dengan tugas MPRS hanya terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pada tanggal 10 November-7 Desember 1960, MPRS mengadakan sidang umum pertama di Bandung. Hasil Sidang Umum MPRS ini menghasilkan dua ketetapan sebagau berikut.
  1. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 yang menetapkan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN.
  2. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/196- tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969).
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada di bawah MPR, namun pada kenyataanya MPRS tunduk kepada presiden yang terlihat dari tindakan presiden dalam pengangkatan ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana menteri III dan pengangkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

2. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR GR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan pada tanggal 5 Maret 1960 karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden kemudian mengeluarkan penetapan presiden yang menyatakan bahwa DPR dibubarkan dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR).
Karena bukan hasil pemilihan umum, semua anggota DPR GR ditentukan oleh presiden.Peratutan maupun tata tertib DPR GR ditentukan oleh presiden. Akibatnya DPR GR mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

3. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara

Dewan Pertimabanga Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Lembaga tinggi negara ini diketuai oleh presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri dari satu orang wakil ketua (Ruslan Abdul Gani), 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemrintah. Pelantikan DPAS dilakukan di Istana Negara pada tanggal 15 Agustus 1959
Seperti MPRS dan DPR GS, DPAS menempatkan diri di bawah pemerintah. Alasannya adalah DPAS yang mengusulkan agar pidato presiden pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang dikenal dengan manifesto politik (manipol) Republik Indonesia ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No. 1 Tahun 1960 dan Ketetapan MPRS Nomor 1/MPRS/1960. Inti manipol adalah USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) sehingga lebih dikenal dengan manipol USDEK.

4. Pembentukan Front Nasional

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuan pembentukan Front Nasional adalah menyatukan seluruh potensi nasional agar menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dimpimpin oleh Presiden Soekarno. Tugas Front Nasional adalah menyelesaikan revolusi nasional, melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.

5. Pembentukan Kabinet Kerja

Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Juanda menjadi menteri pertama. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959 dengan programnya yang disebut triprogram Kabinet Kerja. Isi triprogram Kabinet Kerja sebagai berikut.
  1. Mencukupi kebutuhan sandang pangan.
  2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara.
  3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik (Irian Barat).

Minggu, 28 Agustus 2016

7 kabinet masa Demokrasi Liberal kelas X11

7 Kabinet Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal

Pemilu pertama
Kabinet-kabinet masa demokrasi liberal
Masa demokrasi liberal di Indonesia dimulai pada tahun 1950 hingga 1959 dan dilaksanakan sesuai UUDS 1950. Selama masa demokrasi liberal ini, Indonesia berganti-ganti perdana menteri sebanyak 7 perdana menteri, yaitu Mohammad Natsir, Sukiman Wirjosandjojo, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamidjojo, Djuanda Kartawidjaja. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki pemerintahan yang tidak stabil.

A. Masa Kabinet Mohammad Natsir

Berkas:Mohammad Natsir1.jpg
Mohammad Natsir

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.

Perdana Menteri : Mohammad Natsir (Partai Masyumi).
Tanggal Pelantikan : 07 September 1950 - 21 Maret 1951

Tokoh terkenal dalam kabinet : 

  1. Sri Sultan Hamengkubuwono IX
  2. Mr. Asaat
  3. Ir. Djuanda
  4. Prof. Dr. Soemitri Djojohadikoesoemo
Program-program :
  1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
  2. Mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
  3. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
  4. Menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan gerilya dalam masyarakat.
  5. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
  6. Mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
  7. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.
  8. Membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat.
  9. Pelaksanaan program industrialisasi (Rencana Sumitro).
  10. Pembentukan DPRD.
Keberhasilan :
  1. Di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.
  2. Indonesia masuk PBB.
  3. Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Masalah-masalah :
  1. Pada penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit, tetapi bentuan itu diselewengkan penggunaannya sehingga tidak mencapai sasaran.
  2. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
  3. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
  4. Seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi.
Kegagalan :
  1. Kegagalan kabinet dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
  2. Adanya Mosi tidak percaya dari PNI tentang pencabutan peraturan pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS, Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga mandat kabinet harus dikembalikan kepada Presiden.


B. Kabinet Sukiman
Sukiman Wirjosandjojo
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara partai Masyumi dan partai PNI.

Perdana Menteri : Sukiman Wiryosanjoyo (Partai Masyumi).
Tanggal Pelantikan : 27 April 1951 - 3 April 1952

Program-program :

  1. Menjamin keamanan dan ketentraman.
  2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
  3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
  4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Keberhasilan :

Terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, dari program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

Masalah :
  1. Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Dimana dalam Mutual Security Act (MSA) terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat.
  2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  3. Masalah Irian Barat belum juga teratasi.
  4. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Kegagalan :

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.


C. Kabinet Wilopo
Mr. Wilopo
Kabinet ini adalah zaken kabinet (kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya).

Perdana Menteri : Mr. Wilopo
Tanggal Pelantikan : 3 April 1952 – 3 Juni 1953

Program-Program :

  1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
  2. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Tidak memiliki prestasi yang baik

Masalah :
  1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
  2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
  3. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
  4. Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, yang merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan.
  5. Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli) karena sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan.
Kegagalan :

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.




D. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Berkas:Ali Sastroamidjojo.jpg
Mr. Ali Sastroamidjojo
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.

Perdana Menteri : Mr. Ali Sastroamidjojo
Tanggal Pelantikan : 31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955

Program-Program :

  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
  2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
  3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
  4. Penyelesaian Pertikaian politik.
Keberhasilan :
  1. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
  2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Masalah :
  1. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
  2. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 yaitu suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet.
  3. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
  4. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
  5. Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Kegagalan :

NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.



E. Kabinet Burhanuddin Harahap
Burhanuddin Harapap

Perdana Menteri : Burhanuddin Harahap
Tanggal Pelantikan : 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956

Program-program:
  1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
  2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
  3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
  4. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
  5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Keberhasilan:
  1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan   PKI.
  2. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
  3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
  4. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
  5. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Masalah :

Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.

Kegagalan :

Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga cabinet pun jatuh.
F. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Berkas:Ali Sastroamidjojo.jpg
Mr. Ali Sastroamidjojo
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.

Perdana Menteri : Ali Sastroamidjojo
Tanggal Pelantikan : 20 Maret 1956 – 4 Maret 1957

Program yang disebut sebagai "Rencana Pembangunan Lima Tahun" :

  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
  2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
  3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
  4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
  5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Program Pokok :
  1. Pembatalan KMB.
  2. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
  3. Melaksanakan keputusan KAA.
Keberhasilan :

Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Masalah :
  1. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
  2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan.
  3. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
  4. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Sehingga muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
  5. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Kegagalan :

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
G. Kabinet Djuanda
Ir. Djuanda
Kabinet ini adalah zaken kabinet (kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya). Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950 dan terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.

Perdana Menteri : Ir. Djuanda
Tanggal Pelantikan : 9 April 1957 - 5 Juli 1959

Program- program yang disebut "Panca Karya" :

  1. Membentuk Dewan Nasional.
  2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
  3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB.
  4. Perjuangan pengembalian Irian Jaya.
  5. Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan.
Keberhasilan :
  1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial.
  2. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
  3. Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
  4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Masalah :
  1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat yang menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
  2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
  3. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini pada tanggal 30 November 1957 dan menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Kegagalan :

Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

Jumat, 12 Agustus 2016

PERJANJIAN LINGGARJATI

Latar Belakang

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Salah satu poster yang dipajang di Bangunan Cagar Budaya Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akibat pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.
Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Beland
Diberdayakan oleh Blogger.

 

© 2013 sejarah Indonesia SMK. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top