Kamis, 15 September 2016

VAN DEN BOSCK

19.21

Proses penghapusan tanam paksa
 
 
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Aturan
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
  • Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Kritik
Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri
PENGHAPUSAN SISTEM TANAM PAKSA
LATAR BELAKANG
Sistem Tanam Paksa (STP) yang diberlakukan sejak tahun 1830 hingga 1870 telah membawa dampak yang sangat luas bagi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat Hindia-Belanda pada saat itu. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan yang memberatkan rakyat. Selain itu, juga terjadi bencana kelaparan yang sangat memprihatinkan dan hal itu telah menuntut dihapusnya STP yang dinilai sudah tidak sesuai prosedur yang ada.
            Pemerintah Hindia Belanda dalam usahanya untuk mempertinggi produksi komoditas tanaman ekspor menggunakan penduduk pribumi untuk membayar pajaknya dalam bentuk hasil yang dapat dijadikan sebagai barang ekspor ke pasaran Eropa dan negeri Belanda dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, meskipun pada kenyataannya banyak terjadi penyelewengan dan menimbulkan bencana kelaparan akibat kurang diperhatikannya sektor pangan bagi penduduk pribumi.[1]
PENGHAPUSAN SISTEM TANAM PAKSA
            Dalam perkembangannya STP berjalan terus tanpa diketahui dan diawasi oleh pemerintah pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun 1843 terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan bebrapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah penduduk dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500      jiwa sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya STP. [2]
            Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman tebu juga membawa beban  yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang.[3] Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana kelaparan terjadi. Sistem tanam paksa yang diterapkan mulai 1830 dan berakhir pada 1870. sistem tersebut mengharuskan para petani pribumi menyerahkan sebagian tanah dan tenaga kerja mereka demi keunntungan penanaman tanaman perdagangan (yaitu gula, kopi dan indigo).[4]
            Pemerintah menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus STP mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
            Selain bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan STP yang telah menyebabkan sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau pernah diberlakukan STP untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000 pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864. namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
            Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun 1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif. Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka hutan, menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan, karena jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
            Kedua, penyakit daun yang berat menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
            Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
            STP telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba sebesar 461 juta gulden, sehinbgga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara 1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan 1870 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Dengan penanaman paksa dan menekan upah, negeri Belanda selama sistem tanam paksa (1830-1870) berhasil mengambil untung bersih sebesar 900 juta gulden. Uang tersebut dipergunakan untuk melunasi hutang-hutang negeri Belanda (untuk Indonesia dan untuk negerio Belanda sendiri), juga untuk membiayai peperangan negeri Belanda melawan Belgia, untuk membangun jalan kereta api dan untuk membuat benteng-benteng. Sekalipun semua keuntungan itu adalah hasil pemerasan dari keringat dan penderitaan rakyat Indonesioa, namun tidak sepeserpun yang dikembalikan ke Indonesia untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Secara keseluruhan politik perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali kepentingan masyarakat probumi.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang tampak selama sistem tanam paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya, namun hal itu bukan dimaksudkan oleh pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, melainkan untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Untuk tahun-tahun terakhir maka nampak jelas bahwa sistem tanam paksa sebagi suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitub efisien, karenanya dan lebih didorong oleh keinginan pihak modal swasta untuk mengambil bagian dalam ekspolitasi sumber-sumber alam Indonesia. Akhirnya dengan dihentikan sistem tanam paksa sejak tahun 1870 pemerintahan Belanda tidak dapat memberikan peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Indonesia.
KESIMPULAN
            STP yang diterapkan di Indonesia berakhir sebagai akibat dari terjadinya penyelewengan dalam proses pelaksanaannya. Penyelewengan-penyelewengan itu menyebabkan terjadinya bencana kelaparan, kelangkaan tenaga kerja akibat genosida ketika melakukan tanam paksa, berkurangnya kualitas lahan yang mendukung, kegagalan panen akibat serangan hama, serta faktor politik yang mewarnai kehidupan pemerintahan Hindia-Belanda. Meskipun sistem ini membawa keuntungan besar bagi Belanda, namun sedikit banyak telah membawa kesengsaraan rakyat yang dipaksa untuk menanam tanaman ekspor walaupun pada akhirnya mengalami kegagalan

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 sejarah Indonesia SMK. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top